Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, sebuah perang besar meletus antara Majapahit dan Kerajaan Sunda yang berpusat di Tatar Pasundan, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jawa Barat.
Perang ini dipicu oleh perselisihan atas wilayah perbatasan yang kaya akan sumber daya alam. Raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan Raja Sunda yang perkasa, Prabu Linggabuana, sama-sama merasa memiliki hak atas wilayah tersebut.
Kedua kerajaan memobilisasi pasukan mereka dengan persiapan yang matang. Di pihak Majapahit, pasukan yang dipimpin oleh patih Gajah Mada dipersiapkan dengan baik, sementara di pihak Sunda, pasukan yang kuat dipimpin oleh Juru Kunci Kerajaan Sunda, Adipati Wirabumi.
Pertempuran berlangsung sengit di darat dan laut. Pasukan Majapahit menunjukkan kehebatan mereka dalam taktik perang dan keahlian bertempur. Namun, pasukan Sunda tidak kalah tangguhnya. Mereka menggunakan keunggulan wilayah gunung dan hutan untuk mengelabui musuh.
Perang tersebut berlangsung dalam beberapa bulan, dengan kedua belah pihak sama-sama menderita banyak korban. Namun, tidak ada pihak yang mampu mencapai kemenangan mutlak.
Pada suatu malam, di tengah peperangan yang memuncak, seorang diplomat dari Majapahit dan Sunda bertemu di tengah medan perang. Mereka menyadari betapa sia-sianya pertempuran ini, yang hanya akan mengakibatkan lebih banyak penderitaan bagi kedua kerajaan.
Setelah berdiskusi panjang, kedua pihak mencapai kesepakatan damai. Wilayah yang diperebutkan akhirnya dibagi secara adil antara Majapahit dan Sunda. Raja Hayam Wuruk dan Raja Linggabuana menyepakati persahabatan antara kedua kerajaan, serta menjalin aliansi untuk melindungi Jawa dari ancaman luar.
Perang Majapahit-Sunda akhirnya berakhir, meninggalkan luka dan kerugian yang mendalam. Namun, dari pertempuran tersebut juga muncul pelajaran tentang pentingnya perdamaian dan kerjasama antarbangsa dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan bersama.